Senin, 28 Maret 2011

meningitis

Nor  Rohmawati (04.08.1958) B/KP/VI


“MEKANISME PENYAKIT MENINGITIS”

v  Pengertian  Meningitis
Meningitis adalah radang membran pelindung sistem syaraf pusat. Penyakit ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme, luka fisik, kanker, atau obat-obatan tertentu. Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan kematian. Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.
Tiga organisme utama yang dapat menyebabkan meningitis pyogenic adalah
 Diplococcus pneumonia, Neisseria meningitis dan Haemophilus influenzae. Insiden dari type bakteri penyebab bervariasi menurut umur penderita. Pada Neonatal (0-2 bula) bakteri peneybab meningitis adalah Streptococcus Group B.E.Coli, Staph. Aureus, Enterobacter dan pseudomonas. Pada anak-anak sering disebabkan oleh Haemophilus influenzae, N. Meningitidis dan S. pneumoniae. Pada dewasa muda (6-20 tahun) yaitu N. meningitidis. S. pneumonia dan H. influenzae. Sedangkan pada dewasa (>20 tahun) adalah S. pneumonia, N. Meningitidis, Sterptococcus dan Staphylococcus Setelah ditemukannya antibiotik, bagaimanaupun angka mortalitas dari meningitis pyogenic relatif tidak mengalami perubahan, angka mortalitas pada pasien yang di obatai adalah sekitar 10%. Angka mortalitas di AS pada suatu survey epidemiologik secara prospektif dari tahun 1978 adalah: untuk H. influenzae 6,0%, N. meningitidis 10.3% dan S. pneumoniae 26.3% (schlech dkk, 1985). Pada suatu studi klinik memperlihatkan insidens dari sequelle neurologis pada lebih dari 50% kasus orang dewasa (Alvon dkk, 1979; Bohr dkk, 1984) dan lebih dari 30% pada anak-anak (Sell dkk, 1972), 10% daripadanya dengan tuli sensorineural yang permanen (Dodge dkk, 1984). Angka kematian pada kasus yang tidak diobati adalah
sebesar 75-100% , 50-90%.
 
v  Etiologi
 1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisser meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa
    2 .Penyebab lainnya  lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
    3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita
    4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan
    5.Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
    6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem    persarafan
v  Epidemiology
Infeksi meningococcus dapat terjadi secara endemik maupun epidemik. Secara klinis keduanya tidak dapat dibedakan, tetapi serogroup dari strain yang terlibat berbeda. Kasus endemik pada negara-negara berkembang disebabkan oleh strain serogroup B yang biasanya menyerang usia dibawah 5 tahun, kebanyakan kasus terjadi pada usia antara 6 bulan dan 2 tahun. Kasus epidemik disebabkan oleh strain serogroup A dan C, yang mempunyai kecendrungan untuk menyerang usia yang lebih tua. Lebih dari setengah kasus meningococcus terjadi pada umur antara 1 dan 10 tahun. Penyakit ini relatif jarang didapatkan pada bayi usia ≤ 3 bulan. Kurang dari 10% terjadi pada pasien usia lebih dari 45 tahun. Di AS dan Finland, hamper 55% kasus pada usia dibawah 3 tahun selama keadaan nonepidemik, sedangkan di Zaria, Negeria insiden tertinggi terjadi pada pasien usia 5 sampai 9 tahun. Keadaan geografis dan populasi tertentu merupakan predisposisi untuk terjadinya penyakit epidemik. Kelembaban yang rendah dapat merubahbarier mukosa nasofaring, sehingga merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Infeksi N. meningitidis semata-mata hanya mengenai manusia.
Telah terbukti bahwa tidak didapatkan adanya host antara, reservoar atau transmisi dari hewan ke manusia pada infeksi M. meningitidis. Nasofarings merupakan reservoar alami bagi meningococcus, transmisi dari kuman tersebut terjadi lewat saluran pernafasan (airbone droplets), serta kontak seperti dalam keluarga atau situasi recruit training. Pada suatu studi yang dilakukan oleh Artenstein dkk, didapatkan bahwa sebagian besar partikel dari droplet saluran nafas mengandung meningococcus. Meningococcus bisa didapatkan pada kultur dari nasofaring dari manusia sehat, keadaan ini disebut carrier.
Hal tersebut dapat meningeal tergantung kepada kemampuan dari kapsel polisakarida untuk menghambat aktivitas sistim komplemen bakterisidal yang klasik dan menginhibisi phagositosis neutrophil. Aktivasi dari sistim komplemen merupakan hal yang sangat penting dalam mekanisme pertahanan terhadap infeksi N. meningitidis. Pasien dengan defisiensi dari komponen terminal komponen (C5, C6, C7, C8 dan mungkin C9) merupakan resiko tinggi untuk terinfeksi Neisseria (termasuk N. Meningitidis).
v  Patofisiologi
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Faktor predisposisi mencakup
infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia]sel sabit dan hemoglobinopatis
lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang    
melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat
saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan
bakteri. Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di  dalam
meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran
darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen,
vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula
spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri
dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan
permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan olehmeningokokus.


v  Mekanisme pertahanan didalam ruang subarakhnoid.
Jika bakteri meningael patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid,maka berarti mekanisme pertahanan tubuh tidak adequat. Pada umumnya didalam CSF yang normal kadar dari beberapa komplemen adalah negatif atau minimal. Inflamasi meningael mengakibatkan sedikit peningkatan konsentrasi komplemen. Konsentrasi komplemen ini memegang peranan penting dalam opsonization dari encapsulated meningael patogen, suatu proses yang penting untuk terjadinya phagositosis. Aktifitas opsonik dan bakterisidal tidak didapatkan atau hampir tidak terdeteksi pada pasien dengan meningitis.
v  Induksi inflamasi ruang subarakhnoid.
Walaupun telah terbukti bahwa bakterial kapsul sangat penting bagi bagi    organisme meningael patogen untuk dapat survive didalam ruang subarakhnoid dan           intravaskuler, kapsel lipopolisakarida diketahui bersifat noninflamatory. Lipopolisakarida menyebabkan inflamasi melalui perannya dalam pelepasan inflamatory mediator seperti interleukin-1 dan tumor necrosis faktor kedalam CSF.
v  Perubahan dari sawar darah otak.
Perubahan dari permeabilitas sawar darah otak merupakan akibat dari vasogenic cerebral udem, peningkatan volume CSF, peningkatan tekanan intracranial dan kebocoran protein plasma ke dalam CSF.
v  Peningkatan tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial merupakan akibat dari kombinasi keadaan udem cerebri, peningkatan volume CSF dan peningkatan dari volume darah cerebral.
v  Perubahan dari cerebral blood flow
Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh peninggian tekanan intra kranial, hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis dari arteri, vena dan sinus cerebri. Menurut Hardman (1968), kelainan pathologis utama yang didapatkan pada infeksi meningococcus adalah myocarditis, meningitis dan perdarahan (cutaneous, muscosal, serosal dan adrenal). Derjat myocarditis bervariasi dari neutrophilic inflamatory infiltrate hingga multiple infiltrate dengan nekrosis miokardial. Disekitar jantung terdapat akut vaskulitis dengan perdarahan. Pada infiltrat mungkin terlihat bakteri gran negatif intraseluler. Sering ditemukan bendungan dan udem paru serta effusi pleura, dan kemungkinan bermanifestasi sebagai gagal jantung. Myocarditis didapatkan pada 85% pasien dewasa dan 57% pada pasien bayi dan anak (Hardman, 1968)
Perdarahan terjadi pada beberapa organ, bervariasi dari ptekhial hingga purpura. Secara mikroskopis, karakteristik didapatkan vaskulitis akut dan kadang-kadang timbunan fibrin pada arteriol dankapiler. Kelainan CNS berupa inflamasi pada leptomeningen dan perivascular space,
vaskulitis akut dan kadang-kadang deposit fibrin intraluminal pada vena-vena kecil meningael. Bila terdapat encephalitis, bervariasi dari invasi perivasculer fokal hingga infiltrasi parenchymal diffuse; tetapi pembentukan abses jarang didapatkan. Berdasarkan eksperimen dan kelainan patologis yang didapat, dapat disimpulkan bahwa paling sedikit terdapat 2 mekanisme yang terlibat didalam pathigenesis infeksi meningococcus, yaitu efek endotoksin dan kompleks antigen antibodi. Endotoksin (lipopolysccharide0 adalah yang bertanggung jawab terhadap shock (udem paru, gagal jantung dan perdarahan adrenal) dan DIC yang terlihat pada septikemia akibat infeksi. Vasculitis dan arthritis disebabkan oleh adanya deposit antigen antibodi kompleks.
v  Gambaran Klinis
Meningococcus bakteriemia merupakan akibat dari invasi bakteri kedalamblood stream pada infeksi nasofaring. Keadaan meningococcemia yang lebih berat berupa sepsis, endotaksemia, shoack, DIC dan Waterhouse Friderickson syndrome dengan perdarahan adrenal. Pada shock syndrome yang disebabkan oleh meningococcemia, vascular collapse berkembang dengan cepat menyebabkan kematian dalam beberapa jam. Situasi lethal ini disebabkan karena akibat
myocarditid dan vasculitis.Gejala dari meningococcal meningitis tidak berbeda dengan meningitis yangdisebabkan oleh bakteri pyogenik lainnya. Gejala dapat berupa febris, nyeri kepala, kaku kuduk, mual, muntah, penurunan kesadaran sampai koma. Komplikasi dari CNS berupa transient palsy dari N.IV, VI, VII dan VIII.
Biasanya didapatkan riwayat infeksi saluran nafas bagian atas dalam dua atau tiga hari sebelum onset penyakit, gejala dapat didahului oleh muntah dan diare. Exanthema, walaupun tidak selalu didapatkan, merupakan cardinal sign didalam membedakan etiologi antarameningococcus dengan yang lainnya. Lesi yang paling sering berupa petechial atau purpura, masimg-masing lesi berukuran antara 1 sampai 15 mm. Hal ini biasanya didahului oleh suatu makular rash, adpat pula timbul lesi makulopapular. Pada infeksi yang berat dapat berkembang menjadi suatu lesi ekimosis dan bila lesi sangat besar dan ulseratif, mungkin memerlukan suatu skin graft setelah infeksi teratasi.
Pasien meningitis dengan DIC dan shock labih sering disertai dengan skin rash berupa purpura/ekimosis. Lesi kulit ini timbul 5-9 hari setelah onset infeksi berupa lingkaran berwarna gelap dengan bagian tepi yang lepuh/lecet sebesar 1-2 cm., dalam 24 jam terbentuk bulla yang steril yang akan menjadi ulcerasi dan akan sembuh dengan cepat. Pada pasien didapatkan satu atau lebij lesi yang sering terjadi pada daerah dorsum dari tangan, atau pada kaki dandaerah deltoid. Secara histologis lesi setril ini adalah suatu alergic vasculitis, yang menurut whittle dkk
(1973) merupakan deposit kompleks antigen antibodi. Adanya suatu DIC harus dipertimbangkan bida terdapat ekimosis atau hemorrhagic bullae yang besar.
Meningococcmia kronis merupakan varian yang jarang berupa febris yang rekuren, rash, migratory arthralgia, myalgia dan toksisitas yang minimal. Rash biasanya berupa makulopapular terutama pada ekstremitas, tetapi dapat pula berbentuk nodular dan petekhial. Pada biopsi didapatkan lesi yang amat berbeda dari meningococcemia akut, berupa infiltrat mononuklear perivaskuler serta thrombosis vaskuler, nekrosis dan infiltrat granulosit. Manifestasi cardial merupakan manifestasi klinis yang jarang ditemukan pada infeksi meningococcus, meningococcus kadang-kadang menyebabkan endokarditis, pericarditis baik serous atau purulen dapat timbul dengan atau tanpa gejala sistemik. Myocarditis didapatkan pada 78% dari kasus meningococcus yang fatal. Arthritis didapatkan hampir 10-20% pasien dengan infeksi meningococcus, biasanya timbul 1-10 hari setelah onset dari gejala bakteriemia dan berlangsung
sekitar 1 minggu.
v  Komplikasi
Komplikasi serta sequelle yang timbul biasanya berhubungan dengan proses inflamasi pada meningen dan pembuluh darah cerebral (kejang, parese nervus cranial,lesi cerebral fokal, hydrasefalus) serta disebabkan oleh infeksi meningococcus pada organ tubuh lainnya (infeksi okular, arthritis, purpura, pericarditis, endocarditis, myocarditis, orchitis, epididymitis, albuminuria atau hematuria, perdarahan adrenal). DIC dapat terjadi sebagai komplikasi dari meningitis. Komplikasi dapat pula terjadi karena infeksi pada saluran nafas bagian atas, telinga tengah dan paru-paru, Sequelle biasanya disebabkan karena komplikasi dari nervous system.
v  Diagnosa
Diagnosa pasti dari meningitis meningococcus hanya dengan isolasi organisme dari CSF. Diagnosa relatif dapat ditegakkan sebelum terdapat hasil isolasi pada pasien dengan nyeri kepala, muntah, febris, kaku kuduk dan rush kulit petechial, terlebih bila terdapat epidemik dari meningitis meningococcus atau adanya kontak dengan kasus meningococcus yang jelas. Untuk menegakkan diagnose meningitis meningococcus, perlu dilakukan kultur dari lesi kulit, sekret nafosaring, darah dan CSF. Pada beberapa kasus diagnosa dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan apus dari sedimen CSF/gram stain.
v  Differential Diagnosa
Meningitis meningococcus harus dibedakan dengan penyebab utaka lainnya pada anak-anak, yaitu hemiphitus influenza dan streptococcus dapat ditegakkan. Bila rash tidak didapatkan, diagnosa harus berdasarkan gram-stain dari CSF dan pemeriksaan laboratorium lainnya. Pada keadaan nonepidemii, beberapa infeksi viral dan riketsial harus dipertimbangkan dalam differenstal diagnosa. Rash dan athlargia didapatkan pada infeksi rubella, pada infeksi picorna virus (terutama coxsackie dan ECHO virus) dapat timbul rash, dan sering menyebabkan meningitis aseptik. Leptospirosis dapat mempunyai beberapa gambaran klinis yang mirip dengan infeksi meningococcus.
Terdapat 2 infeksi bakterial yang miripdgn infeksi meningococcus. Gonococcal bacteriemia pada umumnya lebih ringan dibandingkan dengan meningococcus bacteriemia,karakteristik berupa erupsi makulopapular dan demam, tetapi gambaran purpura dan collapse tidak ditemukan. Moraxella urethralis dapat meneybabkan febris, erupsi kulit dan meningitis.
v  Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran laboratorium dari infeksi meningococcus adalah seperti umunya infeksi pyogenic berupa peningkatan jumlah leukosit sebesar 10.000 sampai 30.000/mm3 dan eritrosit sedimentation. Pada urine dapat ditemukan albuminuria, casts dan sel darah merah. Pada kebanyakan kasus, meningococcus dapat dikultur dari nasofaring, dari darah ditemukan lebih dari 50% dari kasus pada stadium awal, serta dari lesi kulit dan CSF. CSF kultur menjadi steril pada 90-100% kasus yang diobati dengan antimikrobal terapi yang apropiate, meskipun tidak terdapat perubahan yang signifikan dari gambaran CSF.
Pada pasien meningitis, pemeriksaan CSF ditemukan pleositosis dan purulen. Walaupun pada fase awal dapat predominan lymphocytic, dlam waktu yang singkat menjadi granulocytic. Jumlah sel bervariasi dari 100 sampai 40.000 sel/ul. Tekanan CSF meningkat biasanya antara 200 dan 500 mm H2O. protein sedikit meningkat dan kadar glukosa rendah biasanya dibawah 20 md/dl. Pemeriksaan gram stain dari CSF dan lesi petechial, menunjukkan diplococcus gram negatif. Diagnosa pasti didapatkan dari kultur CSF, cairan sendi, tenggorokan dan sputum. Kultur dapat positif pada 90% kasus yang tidak diobati. Counter Immuno elektrophoresis (CIE) dapat mendeteksi sirculating meningococcal antigen atau respon antibodi. Pada kasus dengan gambaran CSF yang khas tapi gram stain negatif, dapat dilakukan pemeriksaan latex aglutination test untuk antigen bakteri.
Sensitivitas dari test ini sekitar 50-100% dengan spesifisitas yang tinggi. Bagaimanapun test yang negatif belum menyingkirkan diagnosa meningitis yang disebabkan oleh meningococcus. Polymerase chain reaction dapat digunakanuntuk pemeriksaan DNA dari pasien dengan meningitis meningococcus dengan sensitivitas dan spesifisitas.
v  Terapi
Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur. Pada orang dewasa, Benzyl penicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan secara intravena setiap 2 jam. Pada anak dengan berat badan 10-20 kg. Diberikan 8 juta unit/hari,anak dengan berat badan kurang dari 10 kg diberikan 4 juta unit/hari. Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-400 mg/KgBB/hari untuk dewasa dan 100-200 mg/KgBB/ untuk anak-anak. Untuk pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat dibrikan sampai 5 hari bebas panas.
Terapi suportive seperti memelihara status hidrasi danoksigenasi harus perhatikan untuk keberhasilan terapi. Untuk DIC, beberapa penulis merekomendasikan pemberian heparin 5000-10.000 unit diberikan dengan pemberian cepat secara intravena dan dipertahankan pada dosis yang cukup untuk memperpanjang clotting time danpartial thromboplastin time menjadi 2 atau 3 kali harga normal. Untuk mengontrol kejang diberikan anticonvulsan. Pada udem cerebri dapat diberikan osmotik diuretik atau corticosteroid, tetapi hanya bila didapatkan tanda awal dari impending herniasi.
v  Prognosa
Angka mortalitas pada kasus yang tidak diobati sangat bervariasi teragntung daerah opidemik, biasanya berkisar antara 50-90%, 75-100%. Dengan terapi sat ini, angka mortalitas sekitar 10%, dan insiden dari komplikasi dan sequelle rendah. Faktor yang mempengaruhi prognosa adalah usia pasien, bacteriemia, kecepatan terapi, komplikasi dankeadaan umum dari pasien sendiri. Fatality rate yang rendah terlihat pada kelompok usia antara 3 dan 10 tahun. Angka mortalitas yang tinggi didapatkan pada infant, pasien dewasa dengan keadaan umum yang buruk, dan pasien dengan perdarahan adneral yang extensive
v  Pencegahan
1. Imunisasi
Vaksin meningococcus sangat penting untuk epidemis controlling di Negara ketiga dimana selalu terdapat infeksi meningococcus group A, dengan epidemi setiap beberapa tahun. Imunitas yang didapat tidak bertahan selamanya, dan akan berkurang dalam 3-5 tahun setelah vaksinasi.
Polisakarida grup C menghasilkan respon immun yang lebih rendah dibandingkan dengan polisakarida grup A, dan mempunyai efek immunogenic yang amat rendah pada anak dibawah usia 2 tahun. Immunoprofilaksis terhadap infeksi meningococcus menggunakan vaksin polisakarida quadrivalent (seregrup A, C, Y dan W 135). Pada infant, hanya komponen
vaksin meningococcus grup A yang menghasilkan protektif antibodi. Vaksinasi hanya direkomendasikan untuk individu dengan resiko tinggi, termasuk pengunjung negara dengan penyakit hiperendemik atau epidemik, pada keadaan ledakan yang disebabkan oleh serogrup yang terdapat dalam vaksin, orang-orang dalam barak militer, dan orang-orang dengan resiko tinggi berupa defisiensi komponen terminal komplemen serta individu yn telah
mengalami splenectomy. Pada negara berkembang, penyebab infeksi meningococcus adalah
dari serogrup B.
Kapsul polisakarida dari organisme ini mempunyai immunogenisitas yang sangat rendah, sebab anti-B polisakarida antibodi tidak bersifat bakterisidal di dalam komplemen manusia. Untuk meningkatkan immunogenisitas dari polisakaridal serogrup B, telah dikembangkan suatu polisakarida protein conjugate vaksin yang serupa dengan conjugate vaksin haemophilus influenzae type B.
v  Saat ini terdapat 3 macam conjugate vaksin yaitu:
a. HbOC, dimana protein carrier berasal dari non toksigenik mutant dari toksin diphteria    yang berikatan dengan rantai pendek oligosaccharida/OC dari polyribosylribitolphospate/PRP kasul polisakarida haemophilus influenzae tipe B.
b. PRP-OMP, conjugate vaksin yang berisi outer membrane proteins dari N. Meningitidis/OMP, yang berikatan dengan rantai PRP polymer
c. PRP-D, berisi toksoid diphteria yang berikatan dengan rantai sedang PRP polymer Berdasarkan rekomendasi dari Immunization Practice Advisory Committee (1991) dan Committee on Infectious Disease of the American Academy of Pediatrics (1991), penggunaan vaksin tersebut adalah sabagai berikut:
a. Seluruh bayi di imunisasi Hib conjugate vaksin (Hb-OC atau PRP-OMP),  dimulai pada usia 2 bulan. Pemberian dari vaksin dimulai sat 6 mingguPemberian imunisasi dapat bersamaan dgnjadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR. Vaksin diberikan secara intramuskular pada tempat yang berbeda dengan menggunakan syringe yang berbeda.
b. Bila menggunakan Hb-OC, pada infant usia 2-6 bulan diberikan 3 dosis dengan selang paling sedikit 2 bulan. Infant usia 7-11 bulan diberikan 2 dosis dengan selang paling sedikit 2 bulan sebelum mencapai usia 15 bulan. Booster diberikan saat usia 15 bulan paling sedikit 2 bulan setelah dosis terakhir. Bila menggunakan PRP-OMP, pada infant usia 2-6 bulan diberikan 2 dosis degan selang 2 bulan, dan booster diberikan saat berusia 12 bulan. Anak usia 7-11 bulan diberikan 2 dosis dengan selang 2 bulan, sedangkan anak usia 12-14 bulan diberikan single dose, pada kedua kelompok tersebut booster diberikan saat usia 15 bulan, paling sedikit 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada kelompok usia dewasa diberikan single dose secara subcutan. Vaksinasi ini memberikan perlindungan terhadap penyakit sebesar 90%, tetapi tidak cukup potent untuk mengurangi kasus carrier.
2. Chemoprophylaxis
             Resiko dari meningitis paad kontak keluarga sekitar 4 dalam 1000, kurang lebih 500 sampai 1000 kali lipat dibandingkan dengan populasi secara umum, dan resiko akan meningkat pada anak-anak. Resiko untuk terkena meningitis menjadi tinggi segera setelah kontak dengan penderita, dimana kebanyakan kasus timbul pada minggu pertama setelah kontak, paling lambat dalam 2 bulan. Pada kasus dengan penderita, secepatnya harus diberikan chemoprophylaxis. Kontak didefinisikan sebagai keluarga, perawat yang kontak dengan sekret oral dari pasien dan petugas kesehatan yang melakukan tindakan resusitas mouth to mouth secara langsung.
v  Penatalaksanaan
Farmakologis
a. Obat anti inflamasi :
1) Meningitis tuberkulosa :
a) Isoniazid 10 – 20 mg/kg/24 jam oral, 2 kali sehari maksimal 500 gr selama 1 ½ tahun.
b) Rifamfisin 10 – 15 mg/kg/ 24 jam oral, 1 kali sehari selama 1 tahun.
c) Streptomisin sulfat 20 – 40 mg/kg/24 jam sampai 1 minggu, 1 – 2 kali sehari, selama 3 bulan.
2) Meningitis bacterial, umur < 2 bulan :
a) Sefalosporin generasi ke 3
b) ampisilina 150 – 200 mg (400 gr)/kg/24 jam IV, 4 – 6 kali sehari.
c) Koloramfenikol 50 mg/kg/24 jam IV 4 kali sehari.
3) Meningitis bacterial, umur > 2 bulan :
a) Ampisilina 150-200 mg (400 mg)/kg/24 jam IV 4-6 kali sehari.
b) Sefalosforin generasi ke 3.
b. Pengobatan simtomatis :
1) Diazepam IV : 0.2 – 0.5 mg/kg/dosis, atau rectal 0.4 – 0.6/mg/kg/dosis kemudian klien dilanjutkan dengan.
2) Fenitoin 5 mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.
3) Turunkan panas :
a) Antipiretika : parasetamol atau salisilat 10 mg/kg/dosis.
 b) Kompres air PAM atau es.
c. Pengobatan suportif :
1) Cairan intravena.
2) Zat asam, usahakan agar konsitrasi O2 berkisar antara 30 – 50%.
Perawatan
a. Pada waktu kejang
1) Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka.
2) Hisap lender
3) Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi.
4) Hindarkan penderita dari rodapaksa (misalnya jatuh).
b. Bila penderita tidak sadar lama.
1) Beri makanan melalui sonda.
2) Cegah dekubitus dan pnemunia ortostatik dengan merubah posisi penderita sesering mungkin.
3) Cegah kekeringan kornea dengan boor water atau saleb antibiotika.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar