Selasa, 22 Maret 2011

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA KEPALA

Ni Kadek Dian Lestari
04.08.1948
B/KP/VI








KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat beliaulah penulis dapat menyelesaikan sebuah Makalah yang berjudul ”ASUHAN KEPERAWATAN PADA PRAUMA KEPALA” dengan baik dan tepat pada waktunya.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Jitowiyono selaku dosen mata kuliah Keperawatan Medical Bedah (KMB) II dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian Askep ini, baik berupa materi-materi, pemikiran dan lain sebagainya. Sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan penulis mengharapkan Askep ini dapat bermanfaat nantinya bagi para pembaca.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Askep ini masih memiliki kekurangan dan sangat jauh dari kata sempurna, seperti kata peribahasa yaitu tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis mengaharapkan saran dan keritik yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.



Yogyakarta, Maret 2011


Penulis



ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA KEPALA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
        Indonesia, sebagai Negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi, diantaranya bidang transportasi. Dengan majunya transportasi, mobilitas penduduk pun ikut meningkat. Namun akibat kemajuan ini, juga dapat berdampak negatif yaitu semakin tingginya aneka kecelakaan yang menyebabkan timbulnya trauma kepala.
Akibat trauma kepala bagi pasien dan keluarga sangat mempengaruhi perubahan fisik maupun psikologis. Untuk itu perlu penanganan yang serius dalam memberikan Asuhan Keperawatan. Peran perawat memegang peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi.
     Dalam memberikan pelayanan-pelayanan, keperawatan sebagai sub sistem pelayanan kesehatan bekerja sama dengan pelayanan medis yaitu dokter. Dan untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk memenuhi kebutuhan pasien, perlu adanya peran kolaborasi antara perawat dan dokter. Perawat dalam bekerja sama engan dokter mempunyai peran dependen, independen, dan interdependen, serta kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya (analisis, gizi, dan lain-lain).

1.2 Rumusan Masalah
  • Apa pengertian dari trauma kepala?
  • Apa saja klasifikasi dari trauma kepala?
  • Apa saja etiologi dari trauma kepala?
  • Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala?
  • Apa saja manifestasi klinis dari trauma kepala?
  • Komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala?
  • Pemeriksaan punujang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?
  • Penatalaksanaan apa yang dilakuka n pada pasien trauma kepala??
1.3 Tujuan
  • Untuk mengetahui pengertian dari trauma kepala?
  • Untuk mengetahui apa saja klasifikasi dari trauma kepala?
  • Untuk mengetahui etiologi dari trauma kepala?
  • Untuk mengetahui patofisiologi dari trauma kepala?
  • Untuk mengetahui manifestasi klinis dari trauma kepala?
  • Untuk mengetahui komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala?
  • Untuk mengetahui pemeriksaan punujang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?
  • Untuk mengetahui penatalaksanaan apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala??


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
      Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001) 
Jenis Trauma Kepala :
1. Robekan kulit kepala.
Robekan kulit kepala merupakan kondisi agak ringan dari trauma kepala. Oleh karena kulit kepala banyak mengandung pembuluh darah dengan kurang memiliki kemampuan konstriksi, sehingga banyak trauma kepala dengan perdarahan hebat. Komplikasi utama robekan kepala ini adalah infeksi.

2. Fraktur tulang tengkorak.
Fraktur tulang tengkoran sering terjadi pada trauma kepala. Beberapa cara untuk menggambarkan fraktur tulang tengkorak :
    a. Garis patahan atau tekanan.
    b. Sederhana, remuk atau compound.
     c. Terbuka atau tertutup.
Fraktur yang terbuka atau tertutup bergantung pada keadaan robekan kulit atau sampai menembus kedalam lapisan otak. Jenis dan kehebatan fraktur tulang tengkorak bergantung pada kecepatan pukulan, moentum, trauma langsung atau tidak.
Pada fraktur linear dimana fraktur terjadi pada dasar tengkorak biasanya berhubungan dengan CSF. Rhinorrhea (keluarnya CSF dari hidung) atau otorrhea (CSF keluar dari mata).
Ada dua metoda yang digunakan untuk menentukan keluarnya CSF dari mata atau hidung, yaitu melakukan test glukosa pada cairan yang keluar yang biasanya positif. Tetapi bila cairan bercampur dengan darah ada kecenderungan akan positif karena darah juga mengadung gula. Metoda kedua dilakukan yaitu cairan ditampung dan diperhatikan gumpalan yang ada. Bila ada CSF maka akan terlihat darah berada dibagian tengah dari cairan dan dibagian luarnya nampak berwarna kuning mengelilingi darah (Holo/Ring Sign).
Komplikasi yang cenderung terjadi pada fraktur tengkorak adalah infeksi intracranial dan hematoma sebagai akibat adanya kerusakan menigen dan jaringan otak. Apabila terjadi fraktur frontal atau orbital dimana cairan CSF disekitar periorbital (periorbital ecchymosis. Fraktur dasar tengkorak dapat meyebabkan ecchymosis pada tonjolan mastoid pada tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjunctiva atau edema periorbital.
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
1. Minor
  • SKG 13 – 15
  • Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
  • Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
  • SKG 9 – 12
  • Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
  • Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
  • SKG 3 – 8
  • Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
  • Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. 
2.3 Etiologi
  • Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
  • Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
  • Cedera akibat kekerasan. 
2.4 Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.


2.5 Manifestasi Klinis
  • Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
  • Kebungungan
  • Iritabel
  • Pucat
  • Mual dan muntah
  • Pusing kepala
  • Terdapat hematoma
  • Kecemasan
  • Sukar untuk dibangunkan
  • Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
2.6 Komplikasi
 
1. Epidural hematoma.
Sebagai akibat perdarahan pada lapisan otak yang terdapat pada permukaan bagian dalam dari tengkorak. Hematoma epidural sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergensi dan biasanya berhubungan dengan linear fracture yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematoma berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematoma terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk kedalam ruang epidural. Bila terjadi perdarahan arteri maka hematoma akan cepat terjadi. Gejalanya adalah penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual dan muntah. Klien diatas usia 65 tahun dengan peningkatan ICP berisiko lebih tinggi meninggal dibanding usia lebih mudah.
2. Subdural Hematoma.
Terjadi perdarahan antara dura mater dan lapisan arachnoid pada lapisan meningen yang membungkus otak. Subdural hematoma biasanya sebagai akibat adanya injury pada otak dan pada pembuluh darah. Vena yang mengalir pada permukaan otak masuk kedalam sinus sagital merupakan sumber terjadinya subdural hematoma. Oleh karena subdural hematoma berhubungan dengan kerusakan vena, sehingga hematoma terjadi secara perlahan-lahan. Tetapi bila disebabkan oleh kerusakan arteri maka kejadiannya secara cepat. Subdural hematoma dapat terjadi secara akut, subakut, atau kronik.
Setelah terjadi perdarahan vena, subdural hematoma nampak membesar. Hematoma menunjukkan tanda2 dalam waktu 48 jam setelah injury. Tanda lain yaitu bila terjadi konpressi jaringan otak maka akan terjadi peningkatan ICP menyebabkan penurunan tingkat kesadaran dan nyeri kepala. Pupil dilatasi. Subakut biasanya terjadi dalam waktu 2 – 14 hari setelah injury.
Kronik subdural hematoma terjadi beberapa minggu atau bulan setelah injury. Somnolence, confusio, lethargy, kehilangan memory merupakan masalah kesehatan yang berhubungan dengan subdural hematoma.
3. Intracerebral Hematoma.
Terjadinya pendarahan dalamn parenkim yang terjadi rata-rata 16 % dari head injury. Biasanya terjadi pada lobus frontal dan temporal yang mengakibatkan ruptur pembuluh darah intraserebral pada saat terjadi injury. Akibat robekan intaserebral hematoma atau intrasebellar hematoma akan terjadi subarachnoid hemorrhage.
Collaborative Care.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memonitor hemodinamik dan mendeteksi edema serebral. Pemeriksaan gas darah guna mengetahui kondisi oksigen dan CO2.
Okdigen yang adekuat sangat diperlukan untuk mempertahankan metabolisma serebral. CO2 sangat beepengaruh untuk mengakibatkan vasodilator yang dapat mengakibatkan edema serebral dan peningkatan ICP. Jumlah sel darah, glukosa serum dan elektrolit diperlukan untuk memonitor kemungkinan adanya infeksi atau kondisi yang berhubungan dengan lairan darah serebral dan metabolisma.
CT Scan diperlukan untuk mendeteksi adanya contusio atau adanya diffuse axonal injury. Pemeriksaan lain adalah MRI, EEG, dan lumbal functie untuk mengkaji kemungkinan adanya perdarahan.
Sehubungan dengan contusio, klien perlu diobservasi 1 – 2 jam di bagian emergensi. Kehilangan tingkat kesadaran terjadi lebih dari 2 menit, harus tinggal rawat di rumah sakit untuk dilakukan observasi.
Klien yangmengalami DAI atau cuntusio sebaiknya tinggal rawat di rumah sakit dan dilakukan observasi ketat. Monitor tekanan ICP, monitor terapi guna menurunkan edema otak dan mempertahankan perfusi otak.
Pemberian kortikosteroid seperti hydrocortisone atau dexamethasone dapat diberikan untuk menurunkan inflamasi. Pemberian osmotik diuresis seperti mannitol digunakan untuk menurunkan edema serebral.
Klien dengan trauma kepala yang berat diperlukan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal dan mencegah kecacatan yang nmenetap. Dapat juga diberikan infus, enteral atau parenteral feeding, pengaturan posisi dan ROM exercise untuk mensegah konraktur dan mempertahankan mobilitas. 
2.7 Pemeriksaan Penunjang
  • Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
  • Rotgen Foto
  • CT Scan
  • MRI
2.8 Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.

ASUHAN KEPERAWATAN 

A. PENGKAJIAN
- Identitas Pasien
  • Nama : Nyonya N
  • Umur : 50 Tahun
  • Jenis Kelamin : Perempuan
  • Agama : Hindu
  • Suku/Bangsa : Bali / Indonesia
  • Alamat : Baturiti, Kerambitan
  • Pekerjaan : Petani


- Riwayat Kesehatan 
a. Keluhan Utama
Pada saat pengkajian pasien mengatakan cidera kepala karena terbentur.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan cidera kepala tanggal 9 Desember 2005 setelah terbentur benda tumpul. Pasien mengatakan sakit dan luka di kepala, tidak dapat istirahat dan tenang, asupan haluaran tidak seimbang dan pus pada darah kulit yang rusak.


c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien mengatakan dulu pernah mengalami luka waktu kecelakaan masuk rumah sakit dan dirawat sampai sembuh.


d. Riwayat Kesehatan Keluarga
di dalam keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit menular. 

- Pola Fungsi Kesehatan 
a. Pola Nutrisi
- Sebelum sakit pasien mengatakan biasa makan 3X sehari dengan menu makan pagi nasi, lauk dan segelas susu. Siang dan malam nasi, lauk, sayur dan kadanh buah, makan habis satu porsi tiap makan.minum 6-7 gelas/hari
- Saat sakit pasien mengaakan nafsu makan berkurang, pasien hanya makan setengah porsi dari biasanya, minum 6-7 gelas/hari
b. Pola Tidur / Istirahat
- Sebelum sakit pasien mengatakan biasa tidur dari pukul 23:00 sampai pukul sampai pukul 05:00,pasien tidak biasa tidur siang
- Saat sakit pasien mengatakan tidur sering terjagakarena merasa kurang nyaman dengan keadaannya. Pasien mengatakan tidur pukul 00:05 sampai 04:00, pasien sering terbangun di malam hari
c. Pola aktivitas
- Sebelum sakit pasien bisa melakukan aktifitasnya tanpa terganggu. Pasien bisa memenihi kebutuhannya secara mandiri seperti mandi,makan
- Saat sakit aktifitas pasien menjadi terganggu. Pasien tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri pasien memerluka bantuan orang lain untuk membantunya.
d. Pola eliminasi
Sebelum sakit dan saat sakit pasien mengatakan baiasa BAB satu kali sehari dengan kondisi feses lembek, warna kuning. BAK 5-6 x/hari, bau pesing
e. Pola koping
- Sebelum sakit pasien mengatakan tidak perbah menceritakan masalahnya dengan orang lain, pasien berusaha mengatasi sendri tanpa bantuan orang lain
- Saat sakit pasien mengatakan selalu menceritakan masalahnya dengan oaring lain. Dalam mengatasi masalahnya pasien meminta bantuan orang lain.
f. Pola kognitif
Ingatan pasien menurun. Bila ditanya sesuatau pasien berusaha keras mengingatnya kembali


g. Konsep diri
Sebelum sakit pasien selalu tamapak cria, dapat memenuhi kebutuhannya dengan mandiri seperti makan, mandi, pasien banyak bicara tapi saat sakit pasien mengatakan tidak percaya diri, merasa tidak berguna denagan kondisi seperti ini.


h. Pola reproduksi
Pasien mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Pasien mengatakan tidak menstruasi lagi (menopause)


i. Hubungan dengan masyarakat
Hubungan pasien denagn masyarakat baik, pasien ramah dan sopan


j. Pola kopercayaan (spiritual)
Pasien beragama hindu dan biasa sembahyang setaiap hari pada sore hari. Saat sakit pasien hanya bisa berdoa.

- Pemeriksaan Fisik
a. keadaan umum
- kesadaran : Compos Mentis
- TB/BB : 158 cm / 52 Kg
b. Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 81 X/mnt
Pernafasan : 20 X/mnt
Suhu : 36,9 C


- Pemeriksaan Penunjang :
  • Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
  • Rotgen Foto
  • CT Scan
  • MRI
- Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
  1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
  2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. 
  3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran. 
  4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah. 
  5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial. 
  6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala. 
  7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. 
  8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala. 
  9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
- Intervensi Keperawatan
1. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
  • Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
  • Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
  • memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra
  • pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
  • Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
  • Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
  • Pemberian oksigen sesuai program. 
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.


Intervensi :
  • Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
  • Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
  • tekanan pada vena leher.
  • pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
  • Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
  • Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
  • Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
  • Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
  • Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.
  • Monitor intake dan out put.
  • Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
  • Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
  • Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial. 
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi :
  • Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
  • Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
  • Perawatan kateter bila terpasang.
  • Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
  • Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
4. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
  • Kaji intake dan out put.
  • Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
  • Berikan cairan intra vena sesuai program.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.


Tujuan : Anak terbebas dari injuri.
Intervensi :
  • Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
  • Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
  • Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
  • Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
  • Berikan analgetik sesuai program.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan : Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
  • Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
  • Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
  • Kurangi rangsangan.
  • Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
  • Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
  • Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.


7. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan : Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi :
  • Kaji adanya drainage pada area luka.
  • Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
  • Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
  • Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
8. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan : Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi :
  • Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
  • Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
  • Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
  • Gunakan komunikasi terapeutik.


9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi :
  • Lakukan latihan pergerakan (ROM).
  • Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
  • Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.
  • Kaji area kulit: adanya lecet.
  • Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
 Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
  1. Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisistas untuk membatasi trauma kepala bila terbentur benda tumpul
  2. Pada pasien Nyonya N setelah dilakukan tindakan kepreawatan selam 2x24 jam pasien mengatakan tidak cidera kepala lagi, semua masalah pasien dapat teratasi.

Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh. Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.


DAFTAR PUSTKA

1. Pahrid Tuti SKP, 1994, Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan gangguan Sistem Pernafasan, Jakarta, Kedokteran EGC.
2. Carpenito Lynda Juall RN. MSn. CRNP, 1999, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Ed. 8, Jakarta, EGC.
3. Bandini, Nancy Swift, Manula Of Neurologikal Nursing, Littlc Brown and Company, Boston,1983.
4. Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
5. Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
6. Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik . Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
7. Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar