NAMA : SUPRIYANTI
KELAS : B/KP/VI
NIM : 04.08.2138
A. PENDAHULUAN
Akibat suatu trauma pada medulla spinalis dan kauda ekuina telah dikenal oleh manusia purba, tetapi catatan pada manusia yang paling dini tentang paraplegia dan kuadriplegia pada manusia ditemukan pada Papirus Edwin _ Smith . Disini para ‘ dokter “ mesir menuliskan gejala , cara pemeriksaan penderita dan mengemukakan prognosisnya yang jelek. Setelah melalui perjalanan yang panjang , pengalaman, perhatian makin bertambah selama dan sesudah perang dunia II, sumbangan yang berharga telah diwujudkan terutama di inggris .George Ridoch memutuskan untuk mengobati pendertita dikenal sebagai unit trauma spinal. Kecelakaan lalu lintas , terjatuh, olahraga (Misalnya menyelam) , kecelakaan industry, luka tembak dan luka bacok, ledakan bom merupakan penyebab trauma medulla spinalis.
B. PATOGENESIS
Efek trauma terhadap tulang belakang bias berupa fraktur -dislokasi, fraktur dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah ter 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tapi dislokasi cenderung lokasi terjadi pada tempat- tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagianyang terfiksasi seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12
Dislokasi bias ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang , efek traumatiknya bias mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi , tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis yang dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma tak langsung ini adalah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan berdiri atau terlempar oleh gaya eksploso bom.
Medula spinalis danradiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :
a. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
b. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan , hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia
c. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan vena.
d. GAngguan sirkulasi akibat kompresi tulang atua system arteri spinalis anterior dan posterior
C. MANIFESTASI LESI TRAUMATIK
1. KOMOSIO MEDULA SPINALIS
Komosio medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana funsi medulla spinalis hilang sementara akibat suatau trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu beberpa menit hingga beberapa jam/ hari tanpa meningglakan gejala sisa.
Kerusakan reversible yang mendasari komosio medulla spinalis berupa edema, perdarahan perivaskuler kecil- kecil dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada saat inspeksi makroskopik medulla spinalis tetap utuh . Bila paralisis total dan hilngnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medulla spinalis lebih mengarah ke perubahan anatomic daripada fisiologik
2. KONTUSIO MEDULA SPINALIS
Berbeda dengan komosio medulla spinalis yng diduga hanya merupakan gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan anatomic makroskopik, maka pada kontusio medulla spinalis didapati kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan (edema), perubahan neuron,reaksi peradangan.
Perdarahan di dalam sustansia alba memperlihatkan adanya bercak – bercak degenarasi waller dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron yang di ikuti proliferasi microglia dan astrosit.
3. LASERASIO MEDULA SPINALIS
Pada laserasio medulla spinalis terjadi kerusdakan yang berat akibat diskontinuitas medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok / tusukan, fraktur dislokasi vertebra.
4. PERDARAHAN
Akibat trauma , medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural Maupun hematomieli. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat anesthesia epidural dan sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang relative ringan tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis. Kedua keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomieli adalah perdarahan di dalam substansia grisea medulla spinalis . Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktu- dislokasi , trauma whiplash atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri / duduk.
Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medulla spinalis dibawah lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat perbaikan- perbaikan funsi funikulus lateralis dan posterior medulla spinalis. Hal ini menimbulkan gamabran klinis yang khas hematomielia sebagai berikut : terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan di bawah lesi terdapat paresis spastic, dengan utuhnya sensibilitas nyerei dan suhu serta fungsi funikulus posterior.
5. KOMPRESI MEDULA SPINALIS
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan epi dan sudural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista, dan abses di dalam kanalis vertebralis . Akan didapati nyeri radikuler dan paralisis flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi. Akibat hiperekstensi , hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (whiplash) radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian dan menimbulkan nyeri radikular spontan.Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis yang sebenarnya lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis traumatic yang reversible. Di bawah lesi kompresi medulla spinalis akan didapati paralisis spastic dan gangguan sensorik serta otonom sesuai denga deerajat bertanya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktu- dislokasi vertebra L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medulla spinalis.Biasanya tidak dijumpai gangguan, otorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum dan bokong.
Di samping itu dijumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urin serta pada pria terdapat impotensi. Kompresi kaudal ekulna akan menimbulkan gejala, yang bergantung pada serabut saraf spinlais mana yang terlibat. Akan dijumnpai paralisis flaksid dan atrofi otot. Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat. Kompresi pada saraf spinalis S2, S3, dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilamgnya control volunteer vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
6. HEMISEKSI MEDULA SPINALIS
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk / bacok di medulla spinalis. Gambaran klinisnya merupakan sindrom down sequard yaitu setinggi lesi terdapat kelimpuhan neuron motorik perifer(LMN) ipsilateral pada otot – otot yang disarafi oleh motoneuron yang terkena hemilesi . Setinggi lesi dijumpai deficit sensorik ipsilateral yang terbatas pada kawasan sensorik segmen yang terkena hemilesi. Dibawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsi lateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan deficit sensorik proprioseptif sedangkan pada sisi kontra lateral terdapat deficit sensorik protopatik.
7. SINDROM MEDULA SPINALIS BAGIAN ANTERIOR
Sindrom ini mempunyai cirri khas berikut: paralisis dan hilangnya sensibilitas protopatik dibawah tingkat lesi, tetapi sensibilitas protopatik tetap utuh.
8. SINDROM MEDULA SPINALIS BAGIAN POSTERIOR
Ciri khas sindrom ini adalah adanya deficit motorik yang lebih berat pada lengan daripada tungkai dan disertai defisit sensorik.
Defisit motorik yang lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan akibat rusaknya sel motorik di kornu anterior medulla sinalis segmen servikal atau akibat terlibatnya serabut traktus kortikospianlis yang terletak lebih medial di kolumna lateralis medulla spinalis. Sindrom ini sering dijumpai pada penderita spondilosis servikal.
9. TRANSEKSI MEDULA SPINALIS
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi teransversal maka akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak yaitu:
a) Semua gerak voluntary pada bagian tubuh yang terletakdibawah lesi akan hilang fungsinya secra mendadak dan menetap
b) Semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang
c) Semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan menghilang. Efek terakhir ini disebut renjartan spinal(spinal shock), yang melibatkan baik reflex tendon maupun reflex otonom. Kadang kala pada fase renjatan ini masih dapat dijumpai reflex bulbokavernosus dan atau beberapa minggu samapi beberapa bulan(3-6 minggu)
Pada anak- anak fase syok spinal berlansung lebih singkat daripada orang dewasayaitu kurang dari 1 minggu.Bila terdapat dekubitus , infeksi traktus urionarius atau keadaan metabolic yang terganggu , mal nutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebih lama.
Mc Cough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme syok spinal.
a. Hilangya fasilitas traktus desendens
b. Inhibisi dari bawah yang menetap , yang bekerja pada reflex ekstensor dan
c. Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini mat dramatis , ridoch menggunkanya sebagai dasar pembagian gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksi dan aktivitas reflex yang meningkat.
10. SYOK SPINAL ATAU AREFLEKSIA
Sesaat setelah trauma , fungsi lesi di bawah tingkat lesi hilang, otot flaksid ,reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi sert6a fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Sfingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan karena hilangnya inhibisi dari pusat system saraf pusat yang lebih tinggi) tetapi otot destrusor dan otot polos dalam keadaan atonik. Urin akan terkumpul , setelah intravaskuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin akan mengalir keluar(overflow incontinence) demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar , retensio alvi dan ileus paralitik. Refleks genitalia (ereksi penis, reflex bulbokavernosus, kontraksi otot dartos) menghilang.
11. AKTIVITAS REFLEKS YANG MENINGKAT
Setelah beberapa minggu respons reflex terhadap rangsang mulai timbul, mula- mula lemah makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul reflex fleksi yang khas yaitu tanda babinski dan kemudian fleksi tripel( gerak menghindar dari rangsang dengan mengadakan fleksi pada sendi pergelangan kaki, sendi lutut dan sendi pangkal paha) muncul.Beberapa bulan kemudian reflex menghindar tadi akan bertambah meningkat , sehingga rangsang pada kulit tungkai akan menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo ereksi dan pengosongan kandung kemih secra otomatis( kadang – kala juga pengosongan rectum). Hal ini disebut reflex massa.
D. DIAGNOSIS
a) Radiologik
Foto polos posisi antero- posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada ruang gawat darurat, foto lateral daerah vertebra yang diperkirakan mendapat trauma harus dikerjakan segera, meskipun penderita telah membawa foto dari rumah sakit sebelumnya( khususnya pada trauma daerah servikal). Tujuan tindakan ini adalah untuk memastikan bahwa tidak terjadi perubahan jajaran vertebra(alignment) sewaktu diangkat/ dipindahkan. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1- C2.
b) Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medulla spinalis . Sedikit peningkatan tekanan liquor serebrospinal dannadanya blockade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medulla spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati- hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yuang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
c) Mielografi
Mielografi tampaknya tidak mempunyai indikasi pada fase akut trauma medulla spinalis. Tetapi mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada derah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intevertebralis.
E. TATALAKSANA
Pada umumnya pengobatan trauma medulla spinalis adalah konservatif dan simptomatik. Manajemen mempunyai tujuan mempertahankan fungsi medulla spinalis yang masih ada dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan jaringan medulla spinalis yang mengalami trauma tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkaskan sebagai berikut:
· Segera imobilisasi dan diagnose dini
· Stabilisasi daeerah tulang yang mengalami trauma
· Pencegahan progreivitas gangguan medulla spinalis
· Rehabilitasi dini
Pada penderita yang diperkirakan mengalami trauma pada daerah servikal harus difiksasi degan kerah servikal(cervical collar). Bila kerah tidak tersedia , maka kepala dan leher difiksasi (imobilisasi) dengan menggunakan bantal pasir pada sisi kanan dan kiri kepala serta leher, sedangkan penderita dibaringkan dalam posisi terlentang pada alas yang keras(papan). Sewaktu penanggulanganawal dimulai , oksigenisasi dan aliran darah yang adekuat pada medulla spinalis dipertahankan. Perhatian yang besra ditujuakan untuk mempertahankan jalan nafas.
Bila tekanan oksigen medulla spinalis atau aliran darah berkurang . maka lesi medulla spinalis akan memburuk. Pemeberian cairan secar intravena segera dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi.
Trauma medulla spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis otot- otot interkostal. Oleh karena itu dapatterjadi gangguan pernafasan bahkan kadang kala apneu. Bila perlu dilakuka inkubasi nasotrakeal(hindari fleksi dan ekstensi yang berlebihan) bila pemberian oksigen saja tidak efektif membantu penderita.Pada trauma servikal, hilangnya control vasomotor menyebabkan pengumpula darah di pembuluh darah di abdomen , anggota gerak bawah dan visera yang mengalami dilatasi , menyebabkan timbulnya hipotensi.
Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi gaster akut.Bila tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi dan akan memperberat pernafasan . secepat mungkin diruang gawat darurat dilakukan pemasangan kateter foley sebab retensio urin akan berkembang dalam waktu beberapa jam. Perawatan yang baik perlu untuk mencegah timbulnya efek infeksi mtraktus urinarius.
Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan pemberian enema. Kemudian bila periltastik timbul kembali dapat diberikan obat pelunak feses. Bila traktus gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema dapat digantidengan supositoria. Penderita harus sering diperhatikan ada/ tidaknya fekalit. Untuk mencegah timbulnya dekubitus perlu dilakukan alih baring tiap 2 jam.
Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi edema medulla spinalismasih controversial.bila hendak diberikan dapat dipakai deksametason. Bila timbul spastisitas dapat digunakan diazepam,baklofen dan dantrolen sodium untuk mengatasinya.
F. OPERASI
Pada saat ini laminektomi dekopresif tak dianjurkan kecuali pada kasus- kasus tertentu. Indikasi operasi pada saat ini adalah:
1. Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
2. Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medulla spinalis dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medulla spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat.
3. Trauma servikal dengan lesi parsial medulla spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medulla spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan tomografik untuk membuktikannya.
4. Fragmen yang menekan lengkung saraf
5. Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis
6. Lesi parsial medulla spinalis yang berangsur- angsur memburuk setelah mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan , harus dicurigai hematoma.
G. REHABILITASI
Rehabilitasi harus dilakukan sedini mungkin dengan tujuan untuk mencegah dengan tujuan untuk mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi cacat dan menyiapkan penderita untuk kembali ke tengah keluarganya dan masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu tim rehabilitasi yang terdiri dari:
§ Dokter
§ Perawat
§ Fisioterapis
§ Pekerja social
§ Psikolog
§ Ahli terapi kerja
§ Ahhli ortotik
§ Ahli ortopedi
Program rehabilitasi ini dapat dibagi dalam 2 tahap yang sinambung.Tahap pertama pada fase akut yaitu semasa penderita dalam pengobatan yang intensif. Terutama dikerjakan oleh perawat dan fisioterapis. Tindakan yang dapat dilakukan pada fase ini adalah latiha, masase, elektroterapi,memelihara jalan nafas, merawat gangguan sensibilitas, merawat gangguan miksi dan defekasi. Pada tahap kedua yaitu program rehabilitasi jangka panjang , disisni semua unsure tim rehabilitasi dilibatkan dengan tujuan memasyarakatkan kemabali penderita.
Program ini meliputi:
· Menyiapkan keadaan mental emosional penderita agar dapat tetap berkarya meskipun menderita cacat
· Edukasi pada penderita dan keluarga tentang perawatan dirumahlatihan cara makan, berpakaian ,miksi dan defekasi
· Alih pekerjaan yang disesuaikan dengan kondisi penderita.
Daftar pustaka
Ø Mardjono,M.,&sidharta, P.1989 Neurologi Klinis Dasar, ed 5, PT Dian Rakyat:Jakarta
Ø Tim penyusun.2003.Kapita Selekta Neurologi ed.2.Gadjah mada University Press: Yogyakarta